Selasa, 16 Februari 2010

kita pernah ditindas lebih kejam

Belajar dari pemboikotan kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin
Oleh Untung Wahono

Keagungan nilai-nilai suatu ajaran tidak selalu akan menimbulkan simpati manusia, tetapi seringkali justru menimbulkan kecemasan dan ketakutan dari pihak lain, disebabkan mereka merasa kepentingannya akan terganggu dengan ajaran itu. Itulah sebabnya upaya untuk menegakkan Dakwah Islam-betatapun mulianya-tidak ada jaminan untuk tidak mendapatkan rintangan dan tantangan-tantangan.

Terdapat beberapa kelompok penentang Dakwah Islam, yakni orang-orang berkuasa yang berlaku zhalim, orang-orang sombong yang bodoh, dan orang-orang mengerti yang tidak berpendirian. Kelompok orang-orang ini muncul dalam sejarah peradaban Islam, menghiasi masing-masing zaman yang dialami para pejuang pendahulu sejak masa Rasulullah Muhammad saw.

Al-Quran sendiri telah membenkan sebuah pedoman umum untuk menghadapi scgala tantangan dakwah:

Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik (hajran jamiila).” (QS. Al-Muzammil: 10)

Sebagai surah Makkiyah, tentu ayat ini menggambarkan langkah-langkah yang harus diambil Rasulullah dan kaum muslimin pada saat bangunan dakwah belum lagi kokoh untuk menentang semua tantangan itu.

Penderitaan besar yang dialami Rasulullah saw selama beliau berdakwah di Makkah adalah diboikotnya kaum Muslimin oleh orang-orang Quraisy, baik secara sosial maupun ekonomi. Bahkan pemboikotan ini, berlaku juga bagi kabilah Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim, baik mereka yang sudah masuk maupun yang belum masuk Islam.

Para pedagang dipaksa menjual barang hanya kepada Abu Lahab dan untuk itu ia bersedia membelinya dengan harga yang tinggi. Kabilah Abdul Muthalib dan Bani Hasyim dilarang menjalin hubungan perkawinan dengan suku Quraisy manapun di Makkah. Pada penghujung pemboikotan yang berlangsung sekitar tiga tahun itu, isteri Rasulullah, Khadijah ra wafat dan kemudian disusul oleh pamanda beliau, Abu Thalib.

Keteguhan Cita-Cita Dakwah

Meskipun pemboikotan itu demikian dahsyatnya, Rasulullah dan kaum Muslimin tetap bertahan pada cita-cita menegakkan Dakwah Islam dan tidak berkurang sedikit pun pendiriannya. Jika saja, Rasulullah seorang pemimpin yang lemah, pastilah ia telah menyerah.

Betapa tidak, ia begitu sedih menyaksikan kaumnya dikejar-kejar hingga harus diungsikan ke Habasyah. Sedangkan mereka yang masih tinggal di Makkah harus menerima risiko pemboikotan yang sangat panjang itu. Bahkan beliau menyaksikan betapa isterinya, Khadijah, seorang bangsawan yang dimuliakan itu, harus menderita kekurangan pangan bersama kaum Muslimin lainnya.

Sa’ad bin Abi Waqqas menceritakan saat suatu malam ia keluar dari rumah untuk buang air kecil. Tiba-tiba ia mendengar bunyi sebuah benda terkena air seninya. Setelah dilihat ternyala benda itu adalah sekeping kulit unta kering. Kulit itu kemudian diambil oleh Sa’ad bin Abi Waqqas, dicucinya bersih-bersih, bulunya dibakar lalu direndam dalam air dan direbusnya. Dengan kulit itu, Saad dapat mengisi perut selama tiga hari.

Solidaritas Sosial

Rasulullah Saw dan kaum Muslimin senantiasa mengokohkan solidaritas sosial di antara Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim di tengah-tengah beratnya kabilah itu menanggung sanksi kaum Quraisy. Dengan mengokohkan solidaritas sosial diharapkan kesengsaraan itu tidak akan menumbuhkan sikap saling menyalahkan dan melempar tanggungjawab yang menjadi sumber perpecahan.
Termasuk kekompakan yang dijaga Rasulullah adalah hubungan beliau dengan pamanda Abu Thalib yang dalam kekafirannya terus menerus membela Nabi Muhammad. Abu Thalib melakukan pembelaan yang luar biasa kepada kemenakannya itu sehingga ia mendapat tekanan yang hebat dari tokoh-tokoh kafir Quraisy lainnya.

Pembelaan yang sama juga datang dari pamanda Muhammad yang lain, Abbas bin Abdul Muthalib yang saat itu belum masuk Islam. Abbas sangat sayang kepada Muhammad Saw sehingga ia selalu menjaganya dari gangguan orang-orang kafir Quraisy yang datang mengganggunya.

Bahkan ketika terjadi Bai’atul Aqabah kedua, Abbas mengancam kaum Anshar agar serius melakukan pembelaan kepada Rasulullah jika ingin membawanya ke Madinah.

Dakwah Tetap Berjalan

Selama pemboikotan berlangsung, dakwah Islam tetap dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, sebagai bukti tidak matinya semangat dan cita-cita kaum Muslimin. Pan sahabat tetap gencar mendatangi rombongan para tamu ke agamaan yang datang ke Makkah dan menyampaikan pesan pesan Islam kepada mereka.

Kegiatan ini tidaklah mudah karena setiap saat orang-orang Quraisy mencegah mereka dengan propaganda-propaganda penuh kebohongan. Ini menandakan bahwa sebesar apapun rintangan, ikhtiar untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalah-masalah dakwah tidaklah terhenti.

Sikap-sikap tulus dakwah Islam yang terus diperlihatkan Kaum Muslimin selama masa pemboikotan itu membuahkan rasa simpati beberapa tokoh Quraisy. Ada di antara mereka yang kemudian berusaha unluk membantu kabilah Abdul Munthalib yang terisolasi itu. Dengan sembunyi-sembunyi, di antara mereka ada yang mengikatkan karung-karung makanan pada unta, kemudian unta itu dipukul keras-keras sehingga lari menuju ke arah perkampungan kaum Muslimin itu.

Setia pada Manhaj

Di dalam barisan kaum Muslimin yang diboikot itu, bukannya tidak terdapat orang-orang yang kuat. Pada saat itu, Umar bin Khattab ra telah masuk Islam dan ia adalah seorang yang sangat berani dan gemar berperang. Hamzah bin Abdul Muthalib ra juga telah menyertakan keislamannya pada saat itu dengan sebuah peristiwa yang dramatis. Hamzah memukul kepala Abu Jahal dengan busur panahnya hingga berdarah-darah sebagai bukti keberpihakannya kepada Muhammad Saw.

Dengan modal kenekadan dan keberanian pengikutnya, sesungguhnya mungkin saja bagi Rasulullah saat itu mengobarkan perlawanan kepada kaum Quraisy. Tetapi, hal itu tidak dilakukan beliau karena manhaj perjuangan belum mengantarkan mereka ke tahap itu.

Rasulullah hanya meminta mereka untuk bersabar meskipun mereka merasa demikian berat menghadapi penghinaaan dan tindakan represif kafir Quraisy. Penderitaan dan kesengsaraan tidaklah membuat Rasulullah terpancing untuk menyimpang dari sebuah rancangan perjuangan dakwah yang terencana dengan malang.

Berdoa: Perlawanan dalam Kesabaran

Di antara bentuk perlawanan dalam ketertindasan yang dilakukan oleh Rasulullah adalah berdoa kepada Allah SWT memohon berbagai keadaan yang dapat menguntungkan perjuangan. Inilah yang dilakukan Rasulullah dan kaum Muslimin dalam berbagai peristiwa penindasan yang dialami mereka, termasuk dalam masa pemboikotan yang memakan waktu tiga tahun itu.

Sejarah telah mencatat betapa banyak ragam doa yang dipanjatkan Rasulullah sesuai dengan keadaan kaum dan orang-orang yang dihadapinya. Suatu saat Rasulullah memohonkan ampunan Allah atas suatu kaum: “Ya Allah ampunilah masyarakatku yang tidak berpengetahuan itu.” Padahal Rasulullah saw saat itu tengah menanggung derita siksaan dari orang-orang kafir hingga berdarah-darah (HR. Bukhary dan Muslim).

Pada hari Aqabah, Rasulullah begitu kecewa dengan penolakan dakwah yang dilakukan oleh masyarakat pimpinan Ibnu Abdiyalil bin Abdikilal. Beliau melangkah gontai hingga tak sadar sampai di Qarnis Saalib. Tiba-tiba datang malaikat menawarkan “jasa” untuk menghantamkan gunung kepada kaum itu. Tetapi Rasululullah menolak seraya berkata, “Masih tersisa harapanku, semoga Ya Allah, Engkau memberikan kepada mereka keturunan-keturunan yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.” (H.R. Bukhary dan Muslim).

Ketika dikejar-kejar penduduk Thaif yang dengan kasar menolak dakwah Islam, Rasulullah Saw berdoa kepada Allah Swt: “Ya, Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. “Engkaulah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku…” (HR. Ibn Ishaq dengan sanad shahih).

Rasulullah saw sangat marah tatkala suatu saat orang-orang kafir Quraisy meletakan jeroan (organ tubuh bagian dalam) kambing yang sangat koior ke pundaknya, padahal saat itu beliau tengah sujud dalam shalat yang ia lakukan di dalam Kabah.

Anak beliau, Fatimah, menyingkirkan benda itu dan pada saat itulah Rasulullah Saw berdoa: “Ya Allah binasakanlah orang-orang Quraisy itu! Ya Allah binasakanlah orang-orang Quraisy itu! Ya Allah binasakanlah orang-orang Quraisy itu! Ya Allah binasakanlah Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al Walid bin Uthbah, Umayyah bin Khallaf, Uqbah bin Abi Mu’aith…” Mendengar doa Rasulullah, orang-orang Quraisy yang semula tertawa-tawa penuh ejekan tiba-tiba menjadi sangat ketakutan. (H.R. Bukhary, Muslim, An Nasaai, dan Ahmad).

Penutup

Buah dari kesabaran kaum Muslimin adalah bangkitnya rasa simpati orang-orang kafir Makkah yang masih memiliki sisa-sisa hati nuraninya terutama mereka yang memiliki perkerabatan secara tidak langsung dengan Bani Abdul Muthalib. Orang pertama yang tergugah atas penderitaan kaum muslimin adalah Hisyam bin Amir dan melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukannya terhimpunlah dukungan dari tokoh-tokoh kafir Quraisy yang lain seperti Zuhari bin Abi Umayyah, Muth’am bin Ady, Al-Bakhtary bin Hisyam dan Zam’ah bin Al-Aswad.

Kelima orang tokoh ini bersatu-padu menentang Abu Jahal yang dianggap terlalu berlebihan dalam menghukum kaum Muslimin dan keluarga mereka. Pemboikotan akhirnya diselesaikan. Dan perjalanan dakwah berlanjut terus menghimpun kekuatan demi kekuatan, menuju kemenangan yang tak terbantahkan.

Wallahu a’lam

Sumber: Suara Hidayatullah No. 08/XW/Ramadhan-Syawal 142









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails